Friday, November 12, 2010

LEPRA


LEPRA



DEFINISI
Lepra adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat, disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam. Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri dari dua tipe utama, dengan jenis lepromatous pada ujung spektrum dan tuberkuloid di ujung yang lain: diantara dua tipe ini terdapat tipe borderline, dengan dua sub tipe, borderline tuberkuloid dan borderlinelepromatous. Disebut juga Hansen's disease. 3


PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.4
GEJALA KLINIS
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada5:
  • multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae
  • respons imun penderita terhadap kuman M. leprae
  • komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa6. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).
Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata.
Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra
  • neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
  • mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal yang lebih sering terlibat
  • neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:
  • anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.
  • deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul kelemahan otot)
  • gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek atau diregangkan
  • lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi
  • reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-lesi kulit yang baru
  • reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah
  • nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot7.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan8.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

  • Hitung sel darah lengkap
  • Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
  • HIV status, terutama nonresponder
  • Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
  • Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.
Imaging Studies
  • Foto thorak
  • Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
  • MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
  • Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus
  • Ultrasonography dan Doppler ultrasonography
Tes Yang Lain
a. Tes Imunologi
  • Lepromin test
  • Respon imun seluler melawan M leprae juga dapat dipelajari dengan lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test (LMIT). Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen.
  • Tes serologi
  • Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan
b. DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR)
c. Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:
  • konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat terperangkap (ct segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang, berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf
  • berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (ct, compound muscle action potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial sensoris.
  • Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal, median, dan saraf-saraf tibial9.
DIAGNOSIS-KRITERIA
Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan symptom. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal, terutama cabang saraf perifer merupakan ciri-ciri lepra. Saraf yang menebal biasanya disertai oleh tanda-tanda lain sebagai hasil dari kerusakan saraf. Ini dapat mengakibatkan berkurangnya sensasi pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang terserang. Pada ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa berkurangnya sensori dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra. Smear pada kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang, basil lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat terlihat pada sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop sesudah mengalami pengecatan yang tepat.
Seseorang yang menunjukkan kelainan kulit atau dengan symptom yang mengarah kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak didapatkan atau diragukan sebaiknya disebut ''suspek kasus''. Individu dengan hal tersebut sebaiknya diberitahu tentang fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap ada selama lebih dari enam bulan atau jika ditemukan gejala makin memburuk. Suspek kasus dapat dikirim ke klinik rujukan dengan fasilitas yang lebih baik untuk diagnose10.
Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni5:
1. Lesi kulit yang anestesi,
2. Penebalan saraf perifer, dan
3. Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.
Klasifikasi berdasarkan pada system klinis yang bertujuan pada pengobatan terdiri dari penggunaan jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk mengkelompokkan pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan pausibasiler lepra(PB)11.
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe borderline- borderline (BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous- lepromatous (LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan imunologis12. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan13. Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB) dan kelompok multibasiler (MB)14.
Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah adanya makula yang hipopigmentasi, anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi dan bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi besar yang menutupi seluruh tubuh. Warna lesinya adalah eritema atau ungu pada pinggirnya dan hipopigmentasi di tengah. Distribusi lesinya adalah dimana saja termasuk wajah. Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf perifer pada nervus Ulnaris.
Pada lepromatous Leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous atau hipopigmentasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang difus. Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata (madarosis). Facies lionina (Lion's face) karena penebalan, nodul, dan plak yang mengubah wajah yang normal. Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah bilateral simetris termasuk cuping telinga, wajah , lengan, dan pantat atau nyang paling jarang di badan dan ekstremitas bawah. Pada membran mukosa tepatnya di lidah dijumpai plak, nodul, atau fisura.
Pada borderline, lesinya terdapat diantara tuberkuloid dan lepromatous dengan makula, papul, dan plak. Ditemukan adanya anestesi dan penurunan keringat pada lesi.
PENATALAKSANAAN1

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi
kusta.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisik (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981) dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment. Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan. "Prinsip pengobatan reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3x1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. 15
KOMPLIKASI

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan pada organ tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadi pada kasus LL.16
PROGNOSIS
    Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan mejadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik. 17
DAFTAR PUSTAKA
  1. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ;73- 88.
  2. Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates. 2000 ; 260-271
  3. Dorland, W.A.Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi kedua puluh sembilan. Jakarta: EGC. 2002 ; 1195
  4. Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Denditric Cell Activation and Maturation. Available at : www.jimmunol.org
  5. World Health Organization. WHO Expert Committee on Leprosy Six Report. World Health Organization, Geneva. 1988
  6. Naafs B, Silva E, Vilani-Moreno F, Marcos E, Nogueira M, Opromolla D. "Factors influencing the development of leprosy: an overview". Int J Lepr Other Mycobact Dis. 2001; 69 (1): 26-33
  7. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview
  8. Lewis Felisa S, Conologue T, Harrop E. Leprosy: mycobacterial infection. 2008. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview
  9. Sridharan R, Lorenzo NZ. Leprosy: Neurological infection. 2007. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1165419-overview
  10. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization, 2009. Available at : http://www.who.int/lep/diagnosis/en/index.html
  11. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization, 2009. Available at : http://www.who.int/lep/classification/en/index.html
  12. McDougall AC. Leprosy : Clinical Aspects. Dalam : Harahap M. (ed), New Clinical Applications Dermatology, Mycobacterial Skin Diseases. Kluwer academic Publisher, Dordrecht. 1989 : 119-136
  13. Faber, WR. Immunology of Leprosy . Kumpulan makalah ilmiah KONAS VII PERDOSKI, Suplemen, Bukittinggi, 1992
  14. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. In : Hastings RC. (ed), Leprosy.2end ed. Churchill livingstone , Edinburgh. 1994 : 237-287
  15. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius FKUI. 2000; 74-75
  16. Fitzpatrick, Thomas B dkk. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of Clinical Dermatology. Singapore: McGraw Hill. 2008 ; 1794
  17. Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta;    EGC. 2005 ;155

No comments:

Post a Comment